Jumat, 22 April 2011

Pupusnya Danau Limboto

Eksistensi Provinsi Gorontalo tak lepas dari keindahan Danau Limboto. Danau seluas 3.000 hektar dan dialiri 23 anak sungai ini adalah bagian peradaban masyarakat Gorontalo. Danau itu menjadi ikon karena berada di tengah dua daratan Kabupaten Gorontalo (Limboto) dan Kota Gorontalo.
Apabila kemudian danau ini kering dan menjadi daratan, maka pupuslah sejarah Gorontalo. Konon, kehidupan damai masyarakat Gorontalo diawali dari Danau Limboto ketika abad XVII, saat Raja Limboto Popa dan Raja Gorontalo Eyato mengakhiri perang dengan melepas cincin di danau tersebut.
Manifesto perdamaian dua raja menjadi tanda tanya setelah eksistensi Danau Limboto tergerus beratus tahun. Danau Limboto kini mengalami kerusakan luar biasa, dan tercatat sebagai 10 danau rusak di Tanah Air. Di samping terus mendangkal, Danau Limboto masih dihadang setumpuk persoalan.
Rahman Dako dan Verianto Madjowa, warga dan pemerhati lingkungan di Gorontalo, mempertanyakan sikap dua pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo yang dinilai kurang peduli terhadap keberadaan danau tersebut.
“Kami tak pernah melihat dan mendengar pemerintah kabupaten dan kota melakukan aksi penyelamatan,” katanya.
Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo Tonny Uloli mengatakan, penanganan Danau Limboto telah diambil alih oleh pemerintah provinsi. ”Kami menyadari kemampuan keuangan kabupaten dan kota tak mampu untuk menyelamatkan Danau Limboto,” katanya.
Kedalaman Danau Limboto kini tinggal 3 meter dari 14 meter tahun 1970-an. Luas Danau Limboto telah menyempit menjadi 2.500 hektar dari 3.000 hektar, membuat daya tampung danau menjadi kecil saat musim hujan.
Lahan daratan Danau Limboto akibat pendangkalan malah dikuasai oleh para pejabat dari kabupaten dan kota, serta masyarakat yang kemudian ramai-ramai mengapling lahan daratan danau sebagai miliknya.
Menurut pantauan Kompas beberapa waktu lalu, lahan daratan Danau Limboto dari kawasan Batudaa memutar hingga ke kawasan Limboto sejauh 15 kilometer telah dipatok sebagai milik pribadi-pribadi pihak tertentu. Kondisi ini membuat hati warga menjadi miris. ”Semestinya kita menyelamatkan danau ini, bukan merampas lahan daratan,” kata Verianto.
Menurut dia, beberapa pihak luar yang berencana melakukan revitalisasi Danau Limboto terpaksa mundur karena enggan berhadapan dan terlibat konflik lahan daratan yang kini dikuasai warga tertentu.
Wagub Tonny Uloli mengatakan, pemerintah provinsi telah mengiventarisasi persoalan Danau Limboto, termasuk program revitalisasi. Untuk itu dibutuhkan dana Rp 60 miliar setiap tahun selama enam tahun berturut-turut.
”Dana ini kami usahakan dari bantuan asing dan pemerintah pusat,” katanya. Mengenai kepemilikan lahan di daratan danau, Uloli menyatakan akan bertindak tegas apabila program revitalisasi ini jalan. ”Bagaimana mau bertindak kalau tidak ada dana. Kita perlu uang untuk merelokasi masyarakat di sekitar danau,” katanya.
Budianto Napu dari Universitas Negeri Gorontalo mengatakan, semestinya pemerintah provinsi mengambil alih penanganan Danau Limboto. Rehabilitasi danau harus dilakukan secara lintas sektoral, melibatkan semua pihak, sampai masyarakat kecil. Danau Limboto adalah bagian dari sejarah Gorontalo. ”Apa kita mau hapus sejarah ini dengan keserakahan,” katanya.
Tahun 2008, DPRD Provinsi Gorontalo telah menerbitkan peraturan daerah yang melarang warga menguasai lahan daratan Danau Limboto. Akan tetapi, perda itu tidak efektif karena tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. (Jean Rizal Layuck)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar