Jumat, 22 April 2011

Gorontalo Merdeka

Provinsi Goronlato terbentuk tanggal 5 Desember 2000, yaitu, ditandai dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Undang-undang ini ditandatagani oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 22 Desember 2000. Namun peresmiannya baru dilakukan tanggal 16 Februari 2001 sebagai provinsi ke 32 dan beribukota di Kota Gorontalo. Sebelumnya, daerah ini termasuk ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara.

Penduduk Gorontalo termasuk ras Melayu Polinesia. Pada waktu mereka datang ke wilayah Gorontalo, di daerah ini sudah ada penduduk asli. Selain itu datang pula kelompok migran dari Ternate, Tidore, Bugis, dan Makasar. Setelah itu terus terjadi percampuran diantara mereka sampai dihasilkan penduduk Gorontalo sekarang ini.

Islam masuk ke Gorontalo diperkirakan pada abad ke 16. sejak saat itu, Gorontalo mulai dikenal. Pada waktu yang tidak terlalu lama, Gorontalo sudah menjadi salah satu pusat penyebaran Islam di wilayah Indonesia Timur. Gorontalo juga dikenal sebagai pusat pusat pendidikan dan perdagangan. Hal ini karena lateknya yang trategis di Teluk Tomini.

Sebelum Belanda masuk dan menguasai Gorontalo, daerah ini berbentuk kerajaan-kerajaan yang tergabung dala satu ikatan kekeluargaan yang disebut Pohalaa. Terdapat lima Pohalaa, yaitu, Gorontalo, Limboto, Suwawa, Boalemo, dan Atinggola.

Di era pemerintahan kolonial Belanda, Gorontalo menjadi pusat pemerintahan Afdeling Sulawesi Utara Gorontalo. Wilayah pemerintahannya meliputi Gorontalo, wilayah sekitarnya Buol Tolitoli, Donggala, dan Bolaang Mongondow.

Pada tahun 1889, Gorontalo berada di bawah pemerintahan langsung Belanda yang kemudian dikenal dengan nama "Rechtatreeks Bestuur". Tahun 1922, Gorontalo menjadi tiga wilayah pemerintahan afdeling, yaitu, Gorontalo, Boalemo, dan Buol. Kondisi ini berlangsung hingga meletusnya Perang Dunia II.

Pada tanggal 23 Januari 1942, rakyat Gorontalo dengan dipelopori oleh Nani Wartabone berjuang dan menyatakan kemerdekaan, sekaligus membentuk pemerintahan sendiri. Kondisi awal tahun 1942 ini memang merupakan era yang sangat menyulitkan Belanda. Pada saat itu, negaranya diduduki Jerman dan di Asia, Jepang mulai menebarkan peperangan. Situasi tersebut dipakai Wartabone untuk mengusir kekuasaan kolonial Belanda dan menyatakan Gorontalo merdeka. Mereka kemudian membentuk Dewan Nasional untuk menjalankan pemerintahan, terdiri dari Nani Wartabone, Koesno Danoepojo, Oesoep Reksosoemitro, dan Aloei Saboe.

Pada tanggal 16 Desember 1942, Tentara Jepang yang dipimpin oleh Laksamana Mori mendarat di Gorontalo dan menangkap para pejuang kemerdekaan. Gorontalo kemudian disatukan dengan daerah lain ke dalam wilayah Provinsi Sulawesi.

Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Gorontalo menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar. Belanda yang waktu itu masih berkeinginan menjajah Indonesia, membuat strategi pecah belah. Mereka berusaha memecah Indonesia menjadi beberapa negara. Mereka mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri dari 16 negara bagian. Gorontalo, waktu itu menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT), sebuah negara bagian di Republik Indonesia Serikat (RIS).

Karena tidak sesuai dengan kehendak rakyat, tahun 1950, RIS dibubarkan dan Negara Keatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali berdiri. Sejak saat itu, Gorontalo kemlabi menjadi bagian dari Provinsi Sulawei. Sepuluh tahun setelah kembali ke NKRI, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1960, Kotapraja Gorontalo berdiri. Pada tahun 1965 Kotapraja ini berubah statusnya menjadi Kotamadya Gorontalo hingga tahun 1999.

Mulai tahun 1960, Gorontalo menjadi bagian dari provinsi yang baru dibentuk, yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi, yaitu Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Mulai tahun 1964, Provinsi Sulawesi Utara-Tengah kembali dimekarkan menjadi dua provisi, yaitu, Provinsi Sulawesi Tengah dan Provinsi Sulawesi Utara. Gorontalo menjadi bagian dari provinsi Sulawesi Utara. Status tersebut disandang Gorontalo ampai tahun 2000. KINI Gorontalo resmi berdiri sebagai pronvinsi dengan dengan wilayahnya pemerintahannya meliputi tiga daerah kabupaten/kota, yaitu, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Boalemo, dan Kota Gorontalo.

Pahlawan Gorontalo

Nani Wartabone, (lahir 30 Januari 1907, meninggal 3 Januari 1986), yang dianugerahi gelar "Pahlawan Nasional Indonesia" pada tahun 2003, adalah putra Gorontalo dan tokoh perjuangan dari provinsi yang terletak di Sulawesi Utara itu. Perjuangannya dimulai ketika ia mendirikan dan menjadi sekretaris Jong Gorontalo di Surabaya pada 1923. Lima tahun kemudian, ia menjadi Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) Cabang Gorontalo.

Tiga tahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia bersama masyarakat setempat terlebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Gorontalo, yaitu pada tanggal 23 Januari 1942.

Setelah tentara Sekutu dikalahkan Jepang pada Perang Asia-Pasifik, Belanda merencanakan pembumihangusan Gorontalo yang dimulai pada 28 Desember 1941 dengan mulai membakar gudang-gudang kopra dan minyak di Pabean dan Talumolo.

Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo mencoba menghalanginya dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo. Pada 23 Januari, dimulai dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa, Kabila dan Tamalate, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo bergerak mengepung kota. Pukul lima subuh Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah.

Selesai penangkapan, Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih yang diiringi lagu "Indonesia Raya" di halaman Kantor Pos Gorontalo. Peristiwa itu berlangsung pada pukul 10, dan Nani Wartabone sebagai inspektur upacaranya.

Di hadapan massa rakyat, ia berpidato: "Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban."

Sore harinya, Nani Wartabone memimpin rapat pembentukan Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang berfungsi sebagai Badan Perwakilan Rakyat (BPR) dan Nani dipilih sebagai ketuanya.

Empat hari kemudian, Nani Wartabone memobilisasi rakyat dalam sebuah rapat raksasa di Tanah Lapang Besar Gorontalo. Tujuannya adalah mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan itu dengan risiko apapun.

Sebulan sesudah "Proklamasi Kemerdekaan Nasional" di Gorontalo, tentara Jepang mulai mendarat. Pada 26 Februari sebuah kapal perang Jepang yang bertolak dari Manado berlabuh di pelabuhan Gorontalo. Nani Wartabone menyambut baik bala tentara Jepang ini dengan harapan kehadiran mereka akan menolong PPPG. Ternyata sebaliknya, Jepang justru melarang pengibaran bendera Merah Putih dan menuntut warga Gorontalo bersedia tunduk pada Jepang.

Nani Wartabone menolak permintaan ini. Namun karena tidak kuasa melawan Jepang, ia kemudian memutuskan meninggalkan kota Gorontalo dan kembali ke kampung kelahirannya Suwawa, tanpa ada penyerahan kedaulatan.

Di Suwawa Nani Wartabone mulai hidup sederhana dengan bertani. Rakyat yang berpihak kepada Nani Wartabone akhirnya melakukan mogok massal sehingga Gorontalo bagaikan kota mati. Melihat situasi ini, Jepang melalui kaki tangannya melancarkan fitnah, bahwa Nani Wartabone sedang menghasut rakyat berontak kepada Jepang.

Akibat fitnah itu, Nani Wartabone akhirnya ditangkap pada 30 Desember 1943 dan dibawa ke Manado. Di sini, Nani Wartabone mengalami berbagai siksaan. Salah satu siksaan Jepang yang masih melekat dalam ingatan masyarakat Gorontalo hingga saat ini adalah, ketika Nani Wartabone selama sehari semalam ditanam seluruh tubuhnya kecuali bagian kepala di pantai di belakang Kantor Gubernur Sulawesi Utara sekarang. Hampir sehari kepala Nani Wartabone dimainkan ombak dan butir-butir pasir. Nani Wartabone baru dilepaskan Jepang pada 6 Juni 1945, saat tanda-tanda kekalahan Jepang dari Sekutu mulai tampak.

Setelah menyerah kepada Sekutu, Jepang masih tetap menghormati Nani Wartabone sebagai pemimpin rakyat Gorontalo. Ini terbukti dengan penyerahan pemerintahan Gorontalo dari Jepang kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sejak hari itu Sang Saka Merah Putih kembali berkibar di bumi Gorontalo setelah diturunkan Jepang sejak 6 Juni 1942. Anehnya, setelah penyerahan kekuasaan itu, Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo tidak mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta keesokan harinya. Mereka baru mengetahuinya pada 28 Agustus 1945.

Untuk memperkuat pemerintahan nasional di Gorontalo yang baru saja diambil alih dari tangan Jepang itu, Nani Wartabone merekrut 500 pemuda untuk dijadikan pasukan keamanan dan pertahanan. Mereka dibekali dengan senjata hasil rampasan dari Jepang dan Belanda. Pasukan ini dilatih sendiri oleh Nani Wartabone, sedangkan lokasi latihannya dipusatkan di Tabuliti, Suwawa. Wilayah ini sangat strategis, berada di atas sebuah bukit yang dilingkari oleh beberapa bukit kecil, dan bisa memantau seluruh kota Gorontalo. Di tempat ini pula, raja-raja Gorontalo zaman dahulu membangun benteng-benteng pertahanan mereka.

Setelah menerima berita proklamasi di Jakarta, pada tanggal 1 September 1945 Nani Wartabone membentuk Dewan Nasional di Gorontalo sebagai badan legislatif untuk mendampingi kepala pemerintahan. Dewan yang beranggotakan 17 orang ini terdiri dari para ulama, tokoh masyarakat dan ketua parpol. G. Maengkom yang pernah menjadi Menteri Kehakiman Rl dan Muhammad Ali yang pernah menjadi Kepala Bea Cukai di Tanjung Priok adalah dua dari 17 orang anggota dewan tersebut.

Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama karena Sekutu masuk. Bagi Belanda yang memboncengi Sekutu ketika itu, Nani Wartabone adalah ancaman serius bagi niat mereka untuk kembali menjajah Indonesia, khususnya Gorontalo. Mereka berpura-pura mengundang Nani Wartabone berunding pada 30 November 1945 di sebuah kapal perang Sekutu yang berlabuh di pelabuhan Gorontalo, lalu Belanda menawannya. Nani Wartabone langsung dibawa ke Manado.

Di hadapan Pengadilan Militer Belanda di Manado, Nani Wartabone dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun dengan tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942. Dari penjara di Manado, Nani Wartabone dibawa ke Morotai yang kemudian dipindahkah ke penjara Cipinang di Jakarta pada bulan Desember 1946. Hanya sebelas hari di Cipinang, Nani kembali dibawa ke penjara di Morotai. Di sini ia kembali mengalami siksaan fisik yang sangat kejam dari tentara pendudukan Belanda. Dari Morotai, ia dikembalikan lagi ke Cipinang, sampai dibebaskan pada tanggal 23 Januari 1949, setelah pengakuan kedaulatan Indonesia.

Tanggal 2 Februari 1950, Nani Wartabone kembali menginjakkan kakinya di Gorontalo, negeri yang diperjuangkan kemerdekaannya. Rakyat dan Dewan Nasional yang berjuang bersamanya menyambut kehadirannya dengan perasaan gembira bercampur haru dan tangis. Kapal Bateku yang membawa Nani Wartabone disambut di tengah laut oleh rakyat Gorontalo. Nani Wartabone kemudian ditandu dari pelabuhan dibawa keliling kota dengan semangat patriotisme.

Rakyat kemudian membaiatnya untuk menjadi kepala pemerintahan kembali. Namun Nani Wartabone menentang bentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang ada pada saat itu. Gorontalo sendiri berada dalam Negara Indonesia Timur. Menurutnya, RIS hanyalah pemerintahan boneka yang diinginkan Belanda agar Indonesia tetap terpecah dan mudah dikuasai lagi.

Nani Wartabone kembali menggerakkan rakyat Gorontalo dalam sebuah rapat raksasa pada tanggal 6 April 1950. Tujuan rapat raksasa ini adalah menolak RIS dan bergabung dengan NKRI. Peristiwa ini menandakan, bahwa Gorontalo adalah wilayah Indonesia pertama yang menyatakan menolak RIS.

Pada periode ini hingga tahun 1953, Nani Wartabone dipercaya mengemban beberapa jabatan penting, di antaranya kepala pemerintahan di Gorontalo, Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selepas itu, Nani Wartabone memilih tinggal di desanya, Suwawa. Di sini ia kembali turun ke sawah dan ladang dan memelihara ternak layaknya petani biasa di daerah terpencil.

Ketenangan hidup Nani Wartabone sebagai petani kembali terusik, ketika PRRI/PERMESTA mengambil alih kekuasaan di Gorontalo setelah Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Jiwa patriotisme Nani Wartabone kembali bergejolak. la kembali memimpin massa rakyat dan pemuda untuk merebut kembali kekuasaan PRRI/PERMESTA di Gorontalo dan mengembalikannya ke pemerintahan pusat di Jakarta.

Sayangnya, pasukan Nani Wartabone masih kalah kuat persenjataanya dengan pasukan pemberontak. Oleh karena itu, ia bersama keluarga dan pasukannya terpaksa masuk keluar hutan sekedar menghindar dari sergapan tentara pemberontak. Saat bergerilya inilah, pasukan Nani Wartabone digelari "Pasukan Rimba".

Berbagai cara dilakukan Nani Wartabone agar bisa mendapat bantuan senjata dan pasukan dari Pusat. Baru pada bulan Ramadhan 1958 datang bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Berkat bantuan kedua pasukan dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan inilah, Nani Wartabone berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

Setelah PRRI/PERMESTA dikalahkan di Gorontalo itu, Nani Wartabone kembali dipercaya memangku jabatan-jabatan penting. Misalnya, sebagai Residen Sulawesi Utara di Gorontalo, lalu anggota DPRGR sebagai utusan golongan tani. Setelah peristiwa G30S tahun 1965, Nani Wartabone kembali berdiri di barisan depan rakyat Gorontalo guna mengikis habis akar-akar komunisme di wilayah itu. Nani Wartabone yang pernah menjadi anggota MPRS Rl, anggota Dewan Perancang Nasional dan anggota DPA itu, akhirnya menutup mata bersamaan dengan berkumandangnya azan shalat Jumat pada tanggal 3 Januari 1986, sebagai seorang petani di desa terpencil, Suwawa, Gorontalo.

Pada peringatan Hari Pahlawan 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menyerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone, di Istana Negara, pada tanggal 7 November 2003. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.

Untuk mengenang perjuangannya di kota Gorontalo dibangun Tugu Nani Wartabone untuk mengingatkan masyarakat Gorontalo akan peristiwa bersejarah 23 Januari 1942 itu.

Pejuang dan Wali Gorontalo

Ju Panggola, Ia dikenal sebagai pelindung rakyat, ulama dan Waliyullah.Makamnya yang selalu penuh oleh para peziarah, harum semerbak setiap hari. Kaum muslimin di Gorontalo, niscaya tidak ada yang tidak kenal nama Ju Panggola. Ia adalah seorang Ulama, Pejuang dan Waliyullah yang masyhur di abad ke 16. Pendek kata Ju Panggola adalah tokoh kharismatik yang makamnya dikeramatkan, dan sampai sekarang selalu diziarahi banyak orang. Sebagai penghormatan, makam Ju Panggola dibangun di balik mihrab Masjid Quba – sebuah masjid mungil, di puncak sebuah bukit dengan panorama yang indah di sekitarnya.



Ju Panggola sesungguhnya adalah gelar, yang artinya ”tokoh yang dituakan”. Orang Gorontalo di zaman dulu selalu mengenal Ju Panggola sebagai kakek tua yang berjubah putih yang panjangnya sampai ke lutut. Ia juga dikenal sebagai Ilato atau Raja Kilat, karena perjuangan melawan penjajah Belanda ia mampu menghilang, dan kembali muncul jika negeri dalam keadaan gawat. Karena jasa-jasanya, Ju Panggola mendapat gelar adat “Ta Lo’o Baya Lipu” atau “orang yang berjasa kepada rakyat”, sebagai lambang kehormatan dan keluhuran negeri.
Ju Panggola juga dikenal sebagai penyebar agama Islam. Berkat penguasaan ilmu agama yang tinggi, ia tidak saja dikenal sebagai Ulama, tapi juga sebagai Waliyullah. Dan sebagai pejuang, ia juga dikenal sebagai pendekar yang piawai dalam ilmu persilatan di Gorontalo yang disebut Langga. Berkat kesaktiannya, ia tidak perlu melatih murid-muridnya secara fisik, melainkan cukup dengan meneteskan air kepada kedua bola mata sang murid, dan setelah itu, kontan sang murid mendapatkan jurus-jurus silat yang mengagumkan.

Tapi ada versi legenda lain yang menyebutkan bahwa Ilato adalah “Raja”. Namun tidak ada yang dapat memastikan, apakah Ilato Ju Panggola adalah juga Raja Ilato putra Raja Amai yang bergelar “Matoladula Kiki” yang memerintah kerajaan Gorontalo pada 1550 – 1585, dan menetapkan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Yang pasti, pada sebuah batu prasasti di bukit yang juga merupakan fondasi masjid Quba, tertera tulisan: Masjid Quba, tempat makam Ta’awuliya Raja Ilato Ju Panggola, Ta Lo’o Baya Lipu, 1673 M, wafat Ahad 1 Muharam 1084 H.
Menurut silsilah pada buku yang bertuliskan huruf Arab Pegon, maka Ju Panggola atau Raja Kilat (Ilato) merupakan titisan dari Raja-Raja besar di Gorontalo seperti Raja Matolodula Kiki, Raja Amay sampai kepada Raja Yilahudu / Matolodulada’a (pendiri Kerajaan Gorontalo). Ju Panggola diganti oleh anaknya sebagai Raja yaitu Raja Humonggilu pada tahun 1673. Anak perempuan Raja Kilat yaitu putri Tataydi adalah Ibu dari Jogugu Limboto, Wadipalapa sedang Putri Otu (anak Ju Panggola) dikawini Raja Walangadi I menghasilkan 9 anak antara lain, Raja Botutihe.
Raja Kilat (Ju Panggola) bersaudara tiga yaitu 1. Raja Putri Moliye, 2. Raja Kilat (Ju Panggola), 3. Padudu. Raja Putri Moliye dimakamkan di Gunung di Pelabuhan Gorontalo (Ta toayabu), sedangkan Padudu dimakamkan di Batuda’a pantai dan Raja Kilat dimakamkan di Kelurahan Dembe Kecamatan Kota Barat, berdekatan denganBenteng Otanaha.
Dalam buku yang bertuliskan Huruf Arab Pegon Ju Panggola adalah seorang Aulia karena Aulianya kuburannyaselalu diziarahi oleh orang-orang dari segala penjuru. Jadi Ju Panggola ini bukan seperti cerita orang bahwa beluai adalah Ta Lobutaa To Putito (yang pecah dari telur), karena jelas silsilahnya dan bukan pula kembaran dari Tolangahula.
Adapun Putri Tolangahula (Putri Bulan Purnama) yang merupakan Raja pertama Kerajaan Limboto (1330), bahwa ketika dua orang perempuan yaitu Mbuibungale dan Mbuibintela bertengkar memperebutkan suatu benda yang berkilauan ditengah danau masing-masing mengaku benda itu miliknya. Tiba-tiba muncul seorang tinggi besar (Pembono Bulodo II anak dari Buluati, Raja Bolaang dengan istrinya Buluwinadi cucu Raja Suwawa) mengambil benda tersebut yang terbungkus daun teratai, setelah dibuka ternyata seorang bayi perempuan yaitu putri Tolangohula. Lelaki tersebut menanyakan kepada kedua permpuan yang bertengkar itu apa mereka sudah bersuami. Karena keduanya menjawab belum bersuami maka Pembono Bulodo II meminta untuk memperistrikan keduanya dan keduanya menerima pinangan tersebut sedangkan bayi tersebut dipelihara oleh salah satunya yaitu Mbuibungale. Perkawinan Pembono Bulodo II dengan Mbuibungale melahirkan anak laki-laki dengan nama Yilumoto (Luneto). Setelah dewasa Yilumoto dan Tolangohula menjadi suami istri.
Jadi dapat dilihat disini bahwa Tolangohula hidup pada sekitar Tahun 1330 sebagai Raja Pertama Kerajaan Limboto, sedangkan Ju Panggola / Aulia atau Raja Kilat / Raja Limboto hidup sekitar Tahun 1500-an.
Seperti halnya banyak legenda, sebuah versi mengatakan, Ju Panggola wafat di Mekah. Tapi versi lain menyebutkan, ia tidak wafat, melainkan raib, menghilang secara gaib. Lantas bagaimana dengan makam di balik mihrab masjid Quba yang di yakini sebagai makam Ju panggola? Menurut Farha Daulima, Budayawan Gorontalo, makam tersebut dibangun oleh warga setempat hanya berkat adanya keajaiban di tanah tempat makam itu kini berada.
Tanah yang berwarna putih itu baunya sangat harum. Menurut penuturan orang-orang tua dulu, Ju Panggola pernah berwasiat, “Dimana ada bau harum dan tanahnya berwarna putih di situlah aku,” di sana pula dulu Ju Panggola tinggal sekaligus berkhalwat. Itulah sebabnya warga setempat menganggap, disana pula Ju Panggola “beristirahat panjang.”
Makam Ju Panggola terdapat dalam sebuah bilik berukuran 3 x 3 m, lantainya dari keramik warna putih, sewarna dengan kain kelambu penutup tembok dinding yang menjuntai menyentuh lantai. Tanah makam berwarna putih dan harum itu sering diambil oleh para peziarah, karena mereka percaya, sejumput tanah makam itu dapat menjadi obat. Bahkan ada saja gadis-gadis yang membawa pulang segumpal tanah tersebut untuk digunakan sebagai bedak lulur, bahkan diyakini dapat mempercantik diri dan dapat mempermudah mendapat jodoh.
Dibulan ramadhan, makam ini penuh dengan orang berziarah. atau jika musim paceklik tiba, banyak orang berziarah kesana. Di makam Ju Panggola yang dikeramatkan itu mereka berkhalwat selama tujuh hari sambil berpuasa, membaca shalawat dan berdoa dengan khusuk. Ada pula sebagian peziarah yang melakukan ritus khusus dengan meletakkan sebotol air putih di makam sang Waliyullah selama tiga hari tiga malam. Mereka berharap air itu menjadi obat untuk segala macam penyakit. Wallahu’ A’lam

Pertengkaran Kerajaan Gorontalo dan Limboto

(by: Gorontalo)

Konon pada abad ke-15, kerajaan Gorontalo dan Limboto diperintah oleh sepasang suami isteri yaitu Raja Wolanga dan Ratu Moliye. Zaman itu di Gorontalo dan Limboto belum dikenal lembaga kerajaan dwi-tunggal yang dikenal pada tahun-tahun sesudahnya. Perkawinan antara pemimpin dua kerajaan ini melahirkan seorang anak laki-laki bernama Polamolo. Ketika Polamolo beranjak dewasa, kedua orang tuanya (Moliye dan Wolanga) bermaksud maju berperang ke Teluk Tomini, menaklukkan beberapa kerajaan kecil untuk menambah jumlah rakyatnya. Pemerintahan atas Gorontalo dan Limboto diserahkan kepada Polamolo. Dengan demikian ia menjadi raja pertama yang memerintah dua kerajaan tersebut sekaligus. Polamolo naik tahta dengan gelar “Olangia Mobalanga” artinya raja yang berpindah-pindah, tujuh hari pertama memerintah Gorontalo dan tujuh hari lainnya di Limboto.
Wolanga dan Moliye bertolak dari Gorontalo dan melakukan perjalanan ke arah Barat dan Selatan. Wolanga mengerahkan angkatan lautnya dan bertolak dari Teluk Gorontalo, berlayar menyusur pantai ke arah Barat. Sedangkan Moliye bertolak dari Sungai Paguyaman yang pada waktu itu berfungsi sebagai pelabuhan Limboto di pantai Selatan, kemudian menyeberang ke pulau-pulau Togian, untuk selanjutnya kembali ke daratan pulau Sulawesi di Tanjung Api. Dari sini kemudian berlayar ke arah Barat dan berjumpa di Sausu dengan Wolanga dan gerombolannya. Pada waktu itu mereka telah berhasil menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan selanjutnya menempuh jalan pulang sambil membawa rampasan perang dan budak-budak.

Rombongan Gorontalo dipanglimai oleh Wulea lo Lipu Bilinggata yang bernama Hilibala, bertindak sebagai Luntudulungo artinya pemimpin, penunjuk jalan atau pelopor. Sedangkan rombongan Limboto dipimpin oleh Wulea lo Tibawa bernama Hemuto, yang terkenal berani dan kejam. Konon dalam perjalanan pulang Hemuto dan Hilibala bertukar kedudukan, Hemuto menjadi Luntudulungo dari raja Gorontalo dan Hilibala menjadi Luntudulungo dari istrinya Ratu Moliye dari Limboto.

Menurut cerita, dalam perjalanan pulang itu Moliye berselingkuh dengan Hilibala sehingga hal ini menjadi sebab utama terjadinya kerenggangan hubungan kedua kerajaan tersebut. Polamolo ketika itu berusaha untuk mencari jalan perdamaian. Ia menyalahkan Wulea lo Tibawa Hemuto sebagai pembawa mala-petaka tersebut. Akibatnya beratus-ratus orang Goromtalo dibunuh dan ditawan oleh orang Limboto. Beratus-ratus tengkorang dari orang Gorontalo yang dipotong kepalanya di gunung Huntulobohu masih merupakan saksi dari peristiwa itu.

Kejadian ini membuat polamolo menjadi sedih, sehingga ia memutusakan untuk pergi mengembara (moleyangi). Beserta dengan pengiring-pengiringnya ia melakukan perjalanan ke barat ia kemudian sampai ke sungai buntayoda’a, yang bermuara di teluk  tomini dekat kampung kecil marissa dan berlayar terus ke hulu sungai. Suatu ketika ia sedang mandi di sungai itu, terlihatlah olehnya melilit di pinggangnya sehelai rambut yang panjangnya kurang lebih setengah depa. Ia mengambil rambut itu dan menyimpannya. Ketika ia melanjutkan pelayarannya menuju hulu sungai, tampaklah oleh dia dan pengiringnya seorang wanita sedang berlari dan seluruh tubuhnya terselubung oleh rambutnya yang amat panjang. Setelah didekati  dan di Tanya bahwa wanita tersebut  adalah seorang purti raja Buhu Ponelo bernama Huyahulawa. Polamolo kemudian kawin dengan anak raja itu dan tinggal beberapa lamanya di negri istrinya itu, sampai dipanggil pulang kembali ke gorontalo. Dari perkawinan mereka lahir seorang anak laki-laki yang karma dinilai memiliki sifat-sifat luar biasa diberi nama Limonu atau jilimonu artinya anak yang luar biasa perawakan dan ketampanannya. Baru saja bayi itu dilahirkan, ia segera di bersihkan di sungai pimpine. Di tengah-tengah sungai ini menjulang sebuah batu karang yang berbentuk sebuah gua. Air didalamnya selalu jernih,walau waktu banjir yang paling besar sekalipun, dan bahkan ayam-ayam sabungan yang dimandikan dalam air menjadi tak terkalahkan. Tidaklah mengherankan bahwa pada umur lima tahun limonu sudah terkenal karna ketangkasannya dalam menangkap burung malewo yang dalam jumlah banyak menetas di pantai Marisa. Ia juga dalam segala macam permainan melebihi ketangkasan kawan-kawannya. Kawan-kawannya sering mengolo-olok dengan mengatakan bahwa sifat-sifatnya luar biasa itu dimilikinya karna ia tidak pernah mempunyai seorang ayah. Dengan sedih limonu menanyakan hal itu pada ibunya. Ibunya akhirnya mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di sebuah kerajaan besar yang letaknya di sebelah timur. Limonu kemudian pamit waktu ibunya, ingin berkelana walau pun usianya masih muda belia, karena pada  waktu itu ia baru berusia sepuluh tahun.

Setelah mengalami banyak penderitaan dalam pengembaraannya, akhirnya limonu sampai juga di kerajaan gorontalo. Kebiasaan yang berlaku di kerajaan ini adalah bahwa pada setiap petang dilakukan permainan “mosepa” (ketangkasan bermain bola keranjang) di halaman istana, yang melibatkan semua penonton yang terdiri dari pembesar dan ponggawa istana. Limonu kemudian mendekati tempat itu dan berkesempatan memperlihatkan kemahirannya yang luar biasa sehingga membuat kagum semua yang hadir dalam peristiwa tesebut. Karna ketangkasannya itu maka ia dipanggil menghadap raja. Setelah saling mengenal, segeralah tenyata bahwa limonu adalah anak kandung raja sendiri tinggallah ia berdiam di kerajaan itu sebagai anak raja.

Setelah tinggal di kerajaan ayahnya, limonu banyak mendengar tentang perlakuan hemuto terhadap rakyat gorontalo. Di sini ia mendengar keganasan-keganasan hemuto yang membuat gorontalo menderita. Untuk membela rakyatnya akhirnya limonu memutuskan untuk menantang hemuto perang tanding dan berangkatlah ia ke kerajaan limboto dengan bersenjatakan Eluto (keris pendek).

Setibanya di limboto didapatinya pemimpin orang itu sedang berada di kebunnya, mencabuti rumput. Seluruh kebun itu di kelilingi pagar dari kayu nibung yang kuat dan tak berpintu. Dengan sepotong bambu, limonu memukul kayu pagar sehingga mengagetkan hemuto. Hemuto kemudian bertanya, “Hai Siapakah yang berani kurang ajar memukul-mukul pagar rumahku?” kemudian menjawablah limonu, “saya cucumu!”. Hemuto kemudian berkata lagi “Kalau engkau benar cucuku, cobalah masuk ke dalam pagar rumahku yamh tak berpintu ini”.

Limonu kemudian melemparkan sebuah batu ke pagar seberang untuk mengalihkan perhatian hemuto, dan dengan sekali melompat ia sudah berada di dalam lingkungan pagar tak berpintu itu, tanpa disadari oleh hemuto. Menyaksikan hal itu hemuto terperanjat, saat itulah ia sadar bahwa seorang yang luar biasa telah bangkit diantara orang-orang gorontalo. Dengan merendah limonu meminta kepada hemuto untuk mengajarnya silat meskipun dalam perasaan ia bermaksud menjajaki kesaktian hemuto. Dalam permainan ini limonu menggunakan eluto yang dibawanya sebagai senjata dan terjadilah perkelahian seru. Akhirnya dalam perkelahian itu limonu behasil memotong sebagian telinga hemuto. Ketika potonga telinga itu di perlihatkan, hemuto menjadi malu sekali hingga akhirnya melarikan diri ke hutan belantara. Hingga sekarang ini jejaknya tidak diketahui orang, apa yang terjadi atas dirinya dan dimana kuburannya tetaplah masih merupakan misteri yang tak terpecahkan. Kekalahan  hemuto sebagai pemimpin balantara limboto atas limonu yang di katakan berasal dari Gorontalo. Selain itu penyebab lainnya (ketiga) juga adalah akibat persaingan yang terjadi antara kedua pemimpin balantara dua negri itu yaitu antara Hilibala dan Hemuto. Menurut kedua cerita kedua wulea ini sekembalinya berperang dari teluk Tomini, saat istirahat mereka membiarkan kerbaunya masing-masing berlaga satu dengan yang lain dengan disaksikan oleh prajurit mereka. Dalam peristiwa laga tersebut kerbau pihak gorontalo menang dua kali dan kerbau Limboto hanya menang satu kali saja. Dengan peristiwa ini akhirnya mereka saling mengejek melemparkan kata-kata bersajak berisi ejekan tantangan pihak-pihak yang kalah, kemudian dibalas pula dengan ejekan bahkan tantangan, bahwa kerbau kan hanya binatang, meskipun ia kalah tapi orang-orangnya belum tentu kalah.

Sebab keempat dan dianggap amatlah berat yang pemicu peperangan kedua belah pihak adalah pembunuh atas raja Polamolo oleh pembesar-pembesar Limboto. Suatu saat raja Polamolo memerintahkan membuat sebuah pondok di Debualolo yang merupakan daerah perbatasan antara Limboto dan Gorontalo. Suatu hari ketika ia sudah menjalankan pemerintahnya selama tujuh hari di Gorontalo, berangkatlah ia menjalankan perintahan di Limboto untuk tujuh hari berikutnya. Tepat saat ia berada di muara sungai Ngango lo Bunggalo di danau Limboto yang sedang tampak olehnya sebuah asap api yang berasal dari tempat orang-orang Limboto yang sedang menebang kayu untuk pembangunan pondok. Karena terkena asap yang hitam dan pekat maka kelihatan kulit mereka menjadi kehitam-hitaman. Polamolo bertanya kepada para Olongia yang mengiringnya “Siapakah orang-orang yang hitam pekat itu?” Pengiringnya berasal dari kerajaan Limboto merasa terhina dengan pertanyaan rajanya itu dan dengan gusar mereka menjawab, “Tidaklah tuanku ketahui bahwa mereka adalah orang-orang Limboto sedang menebang, menyeret dan membakar kayu untuk membangun pondok yang tuan perintahkan dibangun di Dehuaholo”. Mendengar jawaban itu Polamolo tersentak diam. Pengiring-pengiringnya yang terdiri dari para kepala adat menafsirkan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh polamolo itu merupakan suatu penghinaan kepada pondok untuk raja, mengapa dihina seperti itu. Terlebih-lebih para olongia yang berasal dari Dunito dan Hungayo mereka sakit hati mendengar kata-kata itu. Menurut mereka bahwa Limboto negeri dari ibunya dihina sang raja, rakyatnya disebut gelap hitam, sedangkan negeri ayahnya Gorontalo disanjung-sanjung  oleh sang raja. Akhirnya Polamolo dibunuh oleh pembesar-pembesar Limboto, kepalanya dikubur di gorontalo dan badannya di Limboto

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun tanpa terasa pertikaian itu telah berlangsung seabad. Ketika itu di Limboto dan Gorontalo telah dikenal adanya pemerintahan dua pihak (dwi-tunggal kerajaan) yang disebut dengan pemerintahan to Huliyalio dan to Tilayo. Seperti misalnya kerajaan Limboto pada waktu itu diperintah oleh dua orang olongia (raja), Olongia to Huliyalo adalah Dulapo dan Olangia to Tilayo yaitu Humonggilu. Masing-masing kerajaan dari tahun ke tahun tetap berusaha menggalang bantuan kepada pihak lain untuk memperkuat kedudukannya. Seperti yang terlihat pada Dulapo, ia mengutus anak laki-lakinya (yang kemudian menggantikannya) Tilahunga ke Ternate meminta bantuan raja Ternate, Ba’abdullah untuk memerangi kerajaan gorontalo. Demikian pula hanya dengan Humonggilu. Hanya berada dengan Dulapo, diketahui ternyata bahwa Olangio to Tilayo lo Limboto ini pernah membantu raja Ba’abdullah dalam suatu perang saudara. Ia kemudian mengawini seorang saudara perempuan raja Ternate itu yang bernama Ju Mu’min. Di Ternate kemudian ia memeluk agama islam dan sekembalinya ke Limboto ia menyebarkan agama itu. Peristiwa tersebut menurut pemberitaan terjadi pada tahun 1562.

Sementara itu di Gorontalo, pemerintahan Dwi-tunggal dipegang oleh Amai sebagai Olongia to Tilayo dan Tuliyabu sebagai Olongia to Huliyalio. Pada salah satu perang penyerbuan ke Teluk Tomini, Amai mengawini seorang anak perempuan raja Kumojolo bernama Owutango, yang dari pihak ibunya adalah keturunan raja-raja Palasa dari Siendeng yang pula bertalian darah erat sekali dengan raja-raja Ternate. Anak laki-laki yang lahir dari perkawinan mereka bernama Matolodula. Matolodula inilah yang selanjutnya menggantikan ayahnya Amai sebagai raja Udik (Olongia to Tilayo). Di bawah pemerintahannya terjadi pengislaman Gorontalo yang juga turut dibantu oleh anggota keluargannya yang berasal dari Ternate.

Dari keterangan di atas tampaklah bahwa kedua kerajaan ternyata sudah memelihara beberapa hubungan dengan Ternate. Diceritakan selanjutnya bahwa rupanya permintaan bantuan Tilahungan, buat sementara waktu belum membawa hasil. Meskipun ternyata diketahui bahwa bantuan itu akhirnya terwujud setelah Tilahunga menggantikan kedudukan ayahnya, Dulapo. Di Gorontalo  Matolodupun sudah digantikan oleh anaknya. Pongokiwu sebagai Olongia to Tilayo, sedangkan isteri Matolodula bernama Wulatileni menggantikannya menjadi ratu di kerajaan to Huliyalio lo Hulantalo. Sementara itu untuk kedua kalinnya Limboto berusaha mendapatkan bantuan dari Ternate dalam rangka memerangi kerajaan Gorontalo. Usaha ini berhasil dilakukan melalui Detubiya, anak raja Humonggilo dan Ju’mu’min putri Ternate. Gorontalo akhirnya dapat dikalahkan dan anak perempuan Matolodula dengan Wulatileni bernama Poheleo atau Mboheleo dibawa ke Ternate sebagai tawanan. Putri ini pun akhirnya kawin dengan raja Ju Mangopa dan karna ia mempunyai nama Ternate yaitu Ju Balu. Ketika ibunya Wulatileni mangkat ia pun diizinkan kembali ke Gorontalo menggantikan ibunya sebagai Ratu Hilir (Olongia to Huliyalio). Ketika itu pun ia ditinggal mati suaminya Ju Mangopa.

Sekembalinya ke Gorontalo, Poheleo yang masih sakit hati akibat kekalahan perang melawan Limboto berminat untuk membalas dendam. Ia tidak menghiraukan meskipun merasa mempunyai pertalian darah dengan Ternate. Saat itu ia memutuskan untuk mengirim Hohuhunya (Patih atau Perdana mentri) bernama Bumulo tidak begitu menyukai tugas ini, mengingat ia sudah membuat rencana dengan Khatibida’a (Penghulu Utama) bernama Eyato untuk mengusahakan perdamaian dengan Limboto. Akan tetapi karna Poheleo mengancamnya untuk tidak memberikan persetujuannya mengawini Duhula, cucu Motadula, maka dengan rasa engan dipenuhinya juga perintah tersebut.

Dengan bantuan Gowa, negeri Limboto dikalahkan. Dua anak permpuan dan seorang anak laki-laki dari Limboto, Momiya yang pada waktu itu telah menggantikan ayahnya Tilahunga, ditawan. Kedua anak perempuan itu masing-masing bernama Ntobango dan Tili’aya dibawa ke Gowa dengan dikawal oleh tiga orang Baate, bernama Mopato Langolo, Mopato Hulita, Mopato Taniyo. Sedang laki-lakinya bernama Pomontolo dibawa ke Manguju (Mandar). Mula-mula kedua orang putri Limboto itu menerima perlakuan yang buruk sekali di Gowa. Konon kabarnya akibat perlakuan tersebut negeri Gowa mengalami musim kemarau yang hebat sekali, semua sumur mengalami kekeringan air. Hanya dengan susah payah, dengan menggunakan tali sepanjang seratus depa orang baru dapat menimba air dan hanya mampu mengisi satu ruas bambu penuh, itu pun hanya bisa diperoleh dari sumur didekat raja.

Suatu hari kedua orang putri itu meminta izin untuk mandi di sumur dekat rumah raja itu, sewaktu akan mandi tiba-tiba air sumur naik hingga melimpah-limpah melalui pinggir sumur. Dengan serta merta mereka menyiram air kepada ke badannya dengan sebuah keranjang, dikarenakan orang tidak memberikan merka timba. Ternyata mereka mandi seolah-olah dengan menggunakan timba, air tidak keluar dari keranjang itu. Mukzijat tersebut membuat raja Gowa kagum, kemudian meminta mereka menurunkan hujan, dan betullan ternyata hujan pun turun setelah mereka memohon sambil mengadahkan tangan ke langit. Setelah kejadian itu putri-putri itu selanjutnya diperlakukan dengan hormat. Meskipun demikian setelah lepas dari musibah satu musibah lain pun datang, wabah-wabah lain masih tetap saja menimpa negeri itu. Akhirnya sang raja memutuskan memulangkan saja putri-putri itu ke Limboto. Maka berangkatlah mereka dengan satu kekuatan angkatan laut yang besar dengan tujuan merampas kembali semua barang-barang dan anak buah yang ditawan oleh orang-orang Gorontalo, dan kemudian bermaksud menaklukan Gorontalo dibawah kekuasaan Limboto. Ketika angkatan laut itu sampai di Tolinggula bertemulah mereka dengan utusan-utusan penjemput dari Limboto yang telah memperoleh berita gembira tentang kembalinya Ntobango dari Tili’aya. Di antara para penjemput itu terdapat Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomalo. Disebuah pulau kecil bernama Lihutokalo depan Bolontiyo berhentilah mereka. Disini Popa dan Pomalo berusaha menjalankan misinya, membujuk para pemimpin Gowa tidak bersedia karena merasa belum melaksanakan tugas yang di perintahkan raja mereka.

Sementara itu desas-desus mengenai kedatangan angkatan laut Gowa yang yang besar sudah terdengar di Gorontalo. Hohuhu Bumolu, setelah mendengar desas-desus tersebut menyuruh untuk mengumpulkan dua gantang emas mengirim Khatiibida’a Eyato membawa emas itu mempunyai menemui angkatan laut Gowa dan menbujuk mereka supaya jangan melakukan penyerbuan terhadap kerajaan Gorontalo. Eyato benar-benar berhasi menemui Wulea lo Lipu Pomalo dan Hohuhu Popa, selanjutnya dulohupa pun dilakukan. Dengan tindakan yang bijaksana diperolehlah jaminan dan kesepakatan akan bantuan mereka untuk menciptakan perdamaian di dua negeri yang bersengketa. Mereka menemukan kata sepakat sesudah pemimpin Gorontalo atas jaminan Eyato berjanji akan mengembalikan semua harta rampasan kekerajaan Limboto. Kemudian mereka menjalankan strategi untuk menghalau pasukan angkatan laut Gowa ke Gorontalo. Sambil membagi-bagikan emas kepada karaeng-karaeng Gowa tersebut, Eyato Dengan disaksikan oleh pembesar Limboto menerangkan bahwa Gorontalo akan menaklukan diri pada Limboto. Setelah memperoleh penjelasan tersebut maka akhirnya pasukan angkatan laut Gowa tersebut setuju untuk kembali ke Gowa. Sememtara itu kedua orang puteri Limboto dengan selamat akhirnya kembali ke Limboto didampingi oleh para baate masing-masing. Demikian pula Pomontolo, saudara lelaki mereka berhasil di bebaskan oleh baate Mopatu Taniyo.

Usaha mendamaikan kedua negeri yang bertikai mengalami kemajuan. Hal ini berkat peranan dan strategi yang dijalankan oleh pembesar kedua negeri terutama oleh Khatibida’a Eyato dan Hohuhu Bumulo dari pihak Gorontalo, dan Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Pomato dari pihak Limboto. Konon perdamaian itu telah jauh-jauh hari sebelumnya mereka rencanakan. Diceritakan suatu ketika Hohuhu Popa dan Wulea lo Lipu Polamalo diperintahkan oleh ratu mereka mencari bala bantuan kerajaan Gowa. Akan tetapi dalam perjalanan dicegat oleh Khatibida’a Eyato. Eyato meminta kepada para pembesar Limboto itu untuk tidak tergesa-gesa dan sedapat mungkin memperlambat perjalanan, rupanya dengan maksud mengusahakan perdamaian antara Gorontalo dan Limboto sebelum angkatan laut tiba.akhirnya mereka mencapai kesepakatan-kesepakatan. Ketika kembali ke Gorontalo dengan maksud akan menjalankan rencannya membujuk ratu kerajaan tersebut, kehadirannya di tempat itu ditolak. Sebagai Khatibida’a dia tidak berhak berbicara dalam siding pembesar Negara. Akan tetapi dengan kelihainannya akhirnya Eyato berhasil menarik perhatian bahkan meyakinkan kedua pimpinan Gorontalo, Sehingga diizinkan masuk ke Bantayo (ruang sidang)untuk memberikan penjelasan Bumulo, anak dari Hohuhu Hungilo (Buyobudu) saat itu bertindak sebagai perantara. Eyato memeparkan rencananya dalam sidang itu yang pada dasarnya ingin mendamaikan kedua kerajaan Gorontalo dan Limboto. Rencana ini akhirnya mendapatkan persetujuan kedua ratu Gorontalo, Moliye dan Poheleo. Diputusakan juga pada saat itu bahwa Boyubodu demi mendukung kepentingan Bomulo, sekaligus menyerahkan jabatan kepada anaknya itu sebagai Hohuhu Hungilo. Sementara itu Eyato juga menggantikan pamannya Patilama sebagai

Hohuhu Lupoyo, dengan tujuan kedua orang tua muda itu bisa bekerja sama untuk dan atas nama kerajaan Gorontalo melaksanakan rencana mereka. Eyato berlayar menyusul Hohuhu Popa dan akhirnya mencapai kata sepakat.

Untuk mewujudkan perdamaian sebagai mana yang telah disepakati atas maka para pembesar Limboto dengan di antar oleh Eyato selanjutnya selanjutnya secara bersama-sama mengdakan perjalanan ke Gorontalo. Pusat kerajaan Gorontalo ketika itu terletak Lupoyo seorang diantara orang Limboto Palingga sambil berdiri diatas perahunya berseru sambil mengumandangkan tuja’I sebagai berikut :

Tomupa loli Dotula                 Orang turun dari perahu disungai (Lupoyo)

Mai mohibintua                       Datang bertanya-tanya

Malongongolipua                    Sudah bersama-sama satu negeri

Ode hinteyalihua                    Menuju saudara seibu



Konon kabarnya selama tiga hari berturut-turut tuja’I ini di ulangi tiga kali dalamm sehari. Setelah menerima pesan ini pembesar-pembesar Gorontalo kemudian untuk mencari seorang yang bergelar Lebidi’a, satu-satunya orang yang dianggap mengerti makna tuju’i tersebut. Akan tetapi barulah pada hari ketiga orang yang dicari tersebut muncul. Sambil berdiri di bawah sebatang pohon tintilo ditepi danau dekat Pentadio sekarang ini, Lebida’a membalas tuja’i tersebut dengan kata-kata sebagai berikut :

Tupalai to dutula                    Silahkan masuk ke sungai

Mahipo bintua-bintua             Sedang bertanya-tanya

Odeo hintea lihua                    Bagaikan barang yang dimandikan

Tilola lulu’ubuwa                    Ditinggalkan cucu perempuan

Wolo du’alo yiluwa                 Dengan do’a-do’a selamanya

Lipunto biye lahuwa               Negeri yang kita nyanyikan (idamkan)

Molinggadu lo dutuwa            Terletak berdampingan

Ma tomoliyatuwa                    Sudah hendak bersatu badan

Modame moponuwa               Berdamai berkasih-kasihan.

Sesudah memperoleh jawaban yang menyenangkan hati, dua kerajaan yang telah lama berseteru itu, akhirnya saling merapatkan barisan armadanya. Ketika di hadapan keduanya seraya berkata : “Sikarayi kalili huwangga lo olongia lo Hulanto to hilawo moputi” (Senjata dari karaeng yang terpilih kepunyaan raja Gorontalo pada hati yang putih). Maksudnya adalah agar keris (Huwangga) ini diberikan kepada raja Gorontalo sebagai bukti kehendak hati yang ingin berdamai. Selanjutnya Hohuhu Popa dengan cara yang sama menghadap ratu Limboto, Momiyo dan Ntihedu (putrid Detubiya) mencabut kerisnya dan meletakannya dihadapan mereka seraya berkata : “Sikarayi kalili huwanga lo olongia lo Limutu tide alinaya” (senjata dari karaeng yang terpilih, kepercayaan raja Limboto tidak menganiyaya) yang juga maksudnya kurang lebih sama dengan pernyataan sebelumnya.

Sejak dilakukan ikrar bersama di sungai Lupoyo itu maka usaha untuk menggalang perdamaian secara menyeluruh pun dilakukan, yang antara lain diwujudkan dengan cara saling mengunjungi antara pembesar kedua negeri yang berttikai. Akhirnya diputuskan unutk merundingkan secara lebih jauh hasilnya melalui perjanjian yang disepakati bersama di atas sumpah. Ketika akan melakukan perjanjian tersebut Ratu to Huliyalio tolo Limboto, Momiyo telah digantikan oleh putranya Pomontolo, yang selanjutnya berangkat ke Gorontalo untuk berunding (lo duudula) dengan pembesar Gorontalo. Ia didampingi oleh Hohuhu Popa, Wulea lo Lipu Pomalo serta pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Sesampainya di Lupoyo (Gorontalo) mereka menyampaikan salam melalui tuja’i sebagai berikut :

Baate-baate Loti’alo                Baate-baate sudah berpindah Haluan

Lo Limutu Hulontalo                Dari Limboto Gorontalo

Wuudionto dulalo                    Kehormatan dibawa bersama

Wameti tayuyuwalo                Terimalah dan angkatlah

Tuja’i ini dibalas oleh bate-bate Gorontalo :

Baate-baate lo ti’alo               Baate-baate sudah berpindah haluan

Wuudionto dilelo                    Kehormatan dibawa bersama

Wametalo talaalo                  Terimalah dan jagalah

Tayuyuwo lo dudulalo            Terimalah, angkatlah berdampingan

Bangango lolahepo                Terangilah segalanya

Kemudian raja Pomontolo turun dari perahunya mengambil tempat duduk di atas babulowangga (tandu) dan berangkatlah dengan pengiring-pengeringnya ke tempat kediaman raja to Huliyalio Bumulo yang sementara itu sudah menggantikan Poheleo. Sesudah pembesar-pembesar kedua kerajaan itu mengambil tempat duduk masing-masing, bersama-sama mereka mengucapkan tuja’i yang berikut :

Hibulo’a hidulitu                     Duduk teratur

Mopayu wu’udu lipu               Berlaku kehormatan negeri

Mojanji bidu motipu               Berjanji tidak ada lagi putus ujungnya

Hidulitu hihulo’a                     Beraturan duduk

Dunggolo de mobu’a              Mudah-mudahan tidak bercerai

Tujuh hari lamanya Pomontolo dengan pengiring-pengiringnya berada di Gorontalo untuk merundingkan isi persekutuan antara kedua kerajaan, setelah itu barulah ia pulang ke Limboto. Sementara itu berangkatlah pula raja to Tilayo lo Hulontalo Eyato yang sementara itu telah menggantikan isterinya untuk mengadakan kunjungan balasan ke Limboto beserta pengiring-pengiringnya di antaranya Hohuhu Male dan Wulea to Lipu Uwabu.

Sesampainya di Lintalo, yang merupakan pusat kedudukan kerajaan Limboto waktu itu mereka mengucapkan tuja’i maksudnya kurang lebih sama dengan tuja’i di atas. Selesai acara membalas tuja’i oleh para Baate kedua kerajaan tersebut, Raja Eyato kemudian turun dari perahunya, diambilnya tempat duduk di dalam Babulowangga yang disediakan dan selanjutnya menuju ke tempat kediaman raja to Tilayo lo Limboto (Ilato) yang juga telah menggantikan ibunya Ntihedu, ketika masuk ke dalam istana dan dipersilahkan duduk berdampingan dengan raja Limboto, dengan penuh keakraban mereka mendengarkan tuja’i-tuja’i dan kata-kata sanjungan yang disampaikan oleh baate-baate kedua negeri.

Sama halnya dengan Pomontolo ketika berada di Limboto, raja Eyato pun beserta pengiring-pengiringnya merundingkan perdamaian dengan para pembesar Limboto selama tujuh hari lamanya. Akhirnya saat itu telah dapat dicapai kesepakatan damai, yang dirayakan dengan kenduri diiringi hidangan lemak kerbau dan saling bersumpah. Adapun perjanjian kedua negeri tersebut kurang lebih seperti berikut:

Pertama, kedua kerajaan tidak akan melakukan tindakan kekerasan yang satu terhadap lainya, pelanggaran terhadap ketentuan ini adalah merupakan kutukan yang akan ditimpakan kepada pembesar dan seisi negeri. Kedua, mereka tidak akan saling melemparkan fitnah (fitnah-memfitnah) orang, dan bagi yang akan melakukan ini dan ingin menimbulkan perpecahan antara kedua kerajaan juga akan ditimpa kutukan. Ketiga, bukan saja masing-masing pihak dilarang melakukan perbuatan tercela kepada yang lain, akan tetapi juga terhadap kerajaan-kerajaan yang lain, ataupun orang-orang lain yang bukan penduduk Limboto dan Gorontalo. Tidak akan dimulai sesuatu tindakan, sebelum diadakan perundingan bersama terlebih dahulu. Keempat, kesulitan di masing-masing kerajaan tidak boleh diselesaikan sendiri. Dalam hal kesulitan di Limboto pembesar-pembesar Gorontalo akan ikut merundingkannya dan mencari penyelesaiannya, demikian pula sebaliknya. Kelima, dalam acara-acara persidangan yang dilakukan oleh sesuatu negeri harus mengikutsertakan pembesar dari kerajaan lain, mulai dari Raja, Jogugu, Kapitan Laut, Hakim atau salah seorang dari Wulea Lo Lipu. Jika dalam perkara diputuskan denda maka negeri penyelenggara pengadilan hanya mengambil sepertiga bagian dari denda tersebut, sedang dua pertiga bagian dari denda itu diberikan kepada negeri tamu. Keenam, rencana-rencana besar seperti pembangunan sebuah kota baru, dikerjakan dengan bantu-membantu. Ketujuh, utusan kerajaan lain tidak pernah diterima sendiri-sendiri, akan tetapi selalu oleh pembesar kedua kerajaan secara bersama-sama. Kedelapan, kalau ada anak buah Limboto yang memberontak maka mula-mula Limboto akan berusaha sendiri untuk menundukkan mereka. Kalau usaha ini tidak berhasil maka Limboto dan Gorontalo akan maju bersama-sama, demikian pula sebaliknya. Jika barang rampasan dikembalikan kepada negeri yang ditaklukkan pengembalian itu haruslah dilakukan bersama-sama oleh Limboto dan Gorontalo. Kesembilan, kedua kerajaan sepakat untuk meminta upeti dari rakyatnya masing-masing atau penduduk daerah taklukkannya yang tidak terlampaui haknya. Kalau seseorang yang diperintahkan untuk memungut upeti, meskipun ia raja sendiri, anak raja yang ditaklukkan membayar upeti maka Negara yang dimintai bantuan harus mendapatkan dua per tiga. Apabila terdapat Wulea lo lipu atau pembesar-pembesar menagih terlalu banyak atau terlalu sedikit maka ia akan didenda oleh suatu pengadilan bersama. Kesepuluh, penduduk di Teluk Tomini yang takluk kepada kedua kerajaan diambil dengan ketetapan bahwa batas pengaruh lingkungan masing-masing adalah Kepulauan Sausu-Masabuku dan Tamalate, masuk dalam lingkungan Gorontalo, sedangkan kepulauan Togian dan Nyuala termasuk dalam kerajaan Limboto.




Article Directory: http://www.sumbercerita.com


Cerita-cerita Lainnya dari Kategori - HOME --> Cerita Anak --> Cerita Rakyat
TitleAuthorViews
Timun Mas (Jawa Tengah) Noel 9,083
Talaga Warna (Jawa Barat) Noel 4,776
Batu Menangis (Kalimantan Barat) Noel 4,375
Kebo Iwa (Bali) Noel 3,973
Caadara (Irian Jaya) Noel 2,216
Piilu Le Lahilote Gorontalo 1,944

Pupusnya Danau Limboto

Eksistensi Provinsi Gorontalo tak lepas dari keindahan Danau Limboto. Danau seluas 3.000 hektar dan dialiri 23 anak sungai ini adalah bagian peradaban masyarakat Gorontalo. Danau itu menjadi ikon karena berada di tengah dua daratan Kabupaten Gorontalo (Limboto) dan Kota Gorontalo.
Apabila kemudian danau ini kering dan menjadi daratan, maka pupuslah sejarah Gorontalo. Konon, kehidupan damai masyarakat Gorontalo diawali dari Danau Limboto ketika abad XVII, saat Raja Limboto Popa dan Raja Gorontalo Eyato mengakhiri perang dengan melepas cincin di danau tersebut.
Manifesto perdamaian dua raja menjadi tanda tanya setelah eksistensi Danau Limboto tergerus beratus tahun. Danau Limboto kini mengalami kerusakan luar biasa, dan tercatat sebagai 10 danau rusak di Tanah Air. Di samping terus mendangkal, Danau Limboto masih dihadang setumpuk persoalan.
Rahman Dako dan Verianto Madjowa, warga dan pemerhati lingkungan di Gorontalo, mempertanyakan sikap dua pemerintah daerah, yakni Pemerintah Kabupaten dan Kota Gorontalo yang dinilai kurang peduli terhadap keberadaan danau tersebut.
“Kami tak pernah melihat dan mendengar pemerintah kabupaten dan kota melakukan aksi penyelamatan,” katanya.
Wakil Gubernur Provinsi Gorontalo Tonny Uloli mengatakan, penanganan Danau Limboto telah diambil alih oleh pemerintah provinsi. ”Kami menyadari kemampuan keuangan kabupaten dan kota tak mampu untuk menyelamatkan Danau Limboto,” katanya.
Kedalaman Danau Limboto kini tinggal 3 meter dari 14 meter tahun 1970-an. Luas Danau Limboto telah menyempit menjadi 2.500 hektar dari 3.000 hektar, membuat daya tampung danau menjadi kecil saat musim hujan.
Lahan daratan Danau Limboto akibat pendangkalan malah dikuasai oleh para pejabat dari kabupaten dan kota, serta masyarakat yang kemudian ramai-ramai mengapling lahan daratan danau sebagai miliknya.
Menurut pantauan Kompas beberapa waktu lalu, lahan daratan Danau Limboto dari kawasan Batudaa memutar hingga ke kawasan Limboto sejauh 15 kilometer telah dipatok sebagai milik pribadi-pribadi pihak tertentu. Kondisi ini membuat hati warga menjadi miris. ”Semestinya kita menyelamatkan danau ini, bukan merampas lahan daratan,” kata Verianto.
Menurut dia, beberapa pihak luar yang berencana melakukan revitalisasi Danau Limboto terpaksa mundur karena enggan berhadapan dan terlibat konflik lahan daratan yang kini dikuasai warga tertentu.
Wagub Tonny Uloli mengatakan, pemerintah provinsi telah mengiventarisasi persoalan Danau Limboto, termasuk program revitalisasi. Untuk itu dibutuhkan dana Rp 60 miliar setiap tahun selama enam tahun berturut-turut.
”Dana ini kami usahakan dari bantuan asing dan pemerintah pusat,” katanya. Mengenai kepemilikan lahan di daratan danau, Uloli menyatakan akan bertindak tegas apabila program revitalisasi ini jalan. ”Bagaimana mau bertindak kalau tidak ada dana. Kita perlu uang untuk merelokasi masyarakat di sekitar danau,” katanya.
Budianto Napu dari Universitas Negeri Gorontalo mengatakan, semestinya pemerintah provinsi mengambil alih penanganan Danau Limboto. Rehabilitasi danau harus dilakukan secara lintas sektoral, melibatkan semua pihak, sampai masyarakat kecil. Danau Limboto adalah bagian dari sejarah Gorontalo. ”Apa kita mau hapus sejarah ini dengan keserakahan,” katanya.
Tahun 2008, DPRD Provinsi Gorontalo telah menerbitkan peraturan daerah yang melarang warga menguasai lahan daratan Danau Limboto. Akan tetapi, perda itu tidak efektif karena tidak ada tindakan tegas dari pemerintah. (Jean Rizal Layuck)

Pupusnya Sejarah Gorontalo

Gorontalo adalah Provinsi yang baru berkembang saat ini, tapi Sejarah ataupun yang berhubungan dengan gorontalo,kini tinggal cerita belaka. Betapa tidak Budaya di Gorontalo kini berubah menjadi 90 derajat. Cerita yang masih bisa kita jadikan Bukti kini mulai tidak pernah di ketahui oleh masyarakat saat ini.

Kamis, 21 April 2011

Menurut sejarah, Jazirah Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo, Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara.Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).

Kedudukan Kota Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang.
Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B.
Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol ToliToli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Sebelum masa penjajahan keadaaan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo. Kerajaan-kerajaan itu tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
• Pohala'a Gorontalo
• Pohala'a Limboto
• Pohala'a Suwawa
• Pohala'a Boalemo
• Pohala'a Atinggola
Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah".
Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.
Asal usul nama Gorontalo terdapat berbagai pendapat dan penjelasan antara lain :
• Berasal dari "Hulontalangio", nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi hulontalo.
• Berasal dari "Hua Lolontalango" yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang.
• Berasal dari "Hulontalangi" yang artinya lebih mulia.
• Berasal dari "Hulua Lo Tola" yang artinya tempat berkembangnya ikan Gabus.
• Berasal dari "Pongolatalo" atau "Puhulatalo" yang artinya tempat menunggu.
• Berasal dari Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung.
• Berasal dari "Hunto" suatu tempat yang senantiasa digenangi air

Jadi asal usul nama Gorontalo (arti katanya) tidak diketahui lagi, namun jelas kata "hulondalo" hingga sekarang masih hidup dalam ucapan orang Gorontalo dan orang Belanda karena kesulitan dalam mengucapkannya diucapkan dengan Horontalo dan bila ditulis menjadi Gorontalo.
Pada tahun 1824 daerah Limo Lo Pohalaa telah berada di bawah kekusaan seorang asisten Residen disamping Pemerintahan tradisonal. Pada tahun 1889 sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah "Rechtatreeks Bestur". Pada tahun 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan Daerah Limo lo pohalaa dibagi atas tiga Onder Afdeling yaitu
• Onder Afdeling Kwandang
• Onder Afdeling Boalemo
• Onder Afdeling Gorontalo
Selanjutnya pada tahun 1920 berubah lagi menjadi lima distrik yaitu :
• Distrik Kwandang
• Distrik Limboto
• Distrik Bone
• Distrik Gorontalo
• Distrik Boalemo
Pada tahun 1922 Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling yaitu :
• Afdeling Gorontalo
• Afdeling Boalemo
• Afdeling Buol
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, rakyat Gorontalo dipelopori oleh Bpk
. H. Nani Wartabone berjuang dan merdeka pada tanggal 23 Januari 1942. Selama kurang lebih dua tahun yaitu sampai tahun 1944 wilayah Gorontalo berdaulat dengan pemerintahan sendiri. Perjuangan patriotik ini menjadi tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia dan memberi imbas dan inspirasi bagi wilayah sekitar bahkan secara nasional. Oleh karena itu Bpk H. Nani Wartabone dikukuhkan oleh Pemerintah RI sebagai pahlawan perintis kemerdekaan.
Pada dasarnya masyarakat Gorontalo mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi. Indikatornya dapat dibuktikan yaitu pada saat "Hari Kemerdekaan Gorontalo" yaitu 23 Januari 1942 dikibarkan bendera merah putih dan dinyanyikan lagu Indonesia Raya. Padahal saat itu Negara Indonesia sendiri masih merupakan mimpi kaum nasionalis tetapi rakyat Gorontalo telah menyatakan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Indonesia.
Selain itu pada saat pergolakan PRRI Permesta di Sulawesi Utara masyarakat wilayah Gorontalo dan sekitarnya berjuang untuk tetap menyatu dengan Negara Republik Indonesia dengan semboyan "Sekali ke Djogdja tetap ke Djogdja" sebagaimana pernah didengungkan pertama kali oleh Ayuba Wartabone di Parlemen Indonesia Timur ketika Gorontalo menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur.